Pada saat memasuki tahun 2010, ekonomi dunia sedang mengalami dua
kejadian penting, yaitu: pertama, krisis ekonomi kapitalisme global yang
sangat mendalam dan struktural, dan kedua, pergeseran kekuatan ekonomi
dunia dari utara (AS dan eropa) ke Asia timur (Tiongkok) dan amerika
latin.
Amartya Sen, seorang ekonom India, dalam tulisannya di
Newyork review menyebut
tahun itu sebagai “tahun krisis”, dan tahun berikutnya akan disertai
dengan penurunan tajam ekonomi dunia melebihi depresi besar tahun
1930-an.
Perkiraan Amartya Sen ada benarnya, sebab di tahun 2010 krisis
ekonomi dunia bukannya menjinak, malah semakin mengganas dan melahap
ekonomi negara-negara kuat di eropa, seperti Yunani, Spanyol, Portugal,
Inggris, dan lain sebagainya.
Sementara ekonomi Indonesia, yang sebagian besar tumpuannya
bergantung kepada ekonomi kapitalis global, turut merasakan pukulan
telak dari keberlanjutan krisis ini.
Jika pada tahun 2009
tenggelamnya ekonomi Indonesia baru mencapai leher, maka pada tahun ini
tenggelamnya ekonomi Indonesia sudah mencapai dagu.
The Economist, majalah mainstream paling bergengsi, pernah
menulis, “ekonomi Indonesia memang tumbuh, tapi sayang sekali,
kemiskinan juga tumbuh.” Meskipun pertumbuhan ekonomi diprediksi akan
menembus 6,3%, tetapi hal tersebut tidak menciptakan “
Trickle down effect”.
Penghancuran Industri Nasional
Tahun 2010 dapat dikatakan sebagai tahun kematian industri nasional.
Beberapa jenis industri yang selama ini menjadi benteng terakhir,
seperti baja, kretek, produk pertanian, dan lain sebagainya, telah
dihancurkan dengan jalan dijual atau dibangkrutkan.
Pada tahun 2006, Indonesia diperkirakan mempunyai 29 ribu perusahaan
manufaktur skala menengah, tetapi sekarang jumlahnya tidak melebihi 27
ribu. Industri skala mikro dan kecil pun anjlok 2,1 persen dan 5 persen
dihantam oleh kebijakan neoliberalisme.
Jika di masa sebelumnya, proses de-industrialisasi baru menghantam
perusahaan-perusahaan menengah dan kecil, maka sekarang ini (tahun 2010)
korbannya sudah mencakup perusahaan-perusahaan tulang punggung
Sementara itu, sebagian sektor industri telah menurunkan kapasitas
produksinya hingga 25% dari potensi produktifnya, antara lain, industri
baja, sepatu dan tekstil. Salah satu penyebab penurunan kapasitas
produksi itu adalah turunnya permintaan, terutama di pasar dunia, yang
sekarang ini memang sedang dilanda krisis over-produksi.
Ada keterkaitan langsung antara krisis kelebihan produksi di negara
maju dengan praktik penghancuran industri di negeri dunia ketiga. Sebab,
dengan menghancurkan industri negeri dunia ketiga, maka industri negara
maju kehilangan pesaing potensialnya dan dapat menguasai pasar negara
dunia ketiga tersebut.
Fonemena inilah yang menjelaskan mengapa pemerintahan SBY-Budiono
sangat agressif untuk menjalankan program privatisasi terhadap sejumlah
BUMN paling strategis, yaitu PT. Krakatau Steel (penguasa baja
nasional), PTPN III, IV, VII (penguasa sektor perkebunan/agrobisnis),
dan dua raksasa perbankan nasional, Bank Mandiri dan Bank BNI.
Pada tahun 2010 ini, rejim SBY-Budiono berusaha memastikan
privatisasi terhadap delapan BUMN, yaitu PTPN III, PTPN IV, PTPN VII, PT
C Phrimissima, PT Kertas Padalarang, PT sarana Karya, Bank Mandiri, dan
Bank BNI.
Industri kretek, salah satu industri yang tumbuh dengan corak
nusantara dan mempergunakan modal/sumber daya di dalam negeri, juga
sedang berada di mulut kehancuran. Sejumlah lembaga asing, seperti
Bloomberg Initiative,
telah menggelontorkan dana kepada sejumlah lembaga pemerintah dan ormas
untuk mengkampanyekan “anti-rokok” dan pembatasan tembakau.
Perusahaan asing juga sangat berjaya dalam mengusai sumber energi
nasional, terutama migas dan batubara, yang menyebabkan industri
nasional kesulitan mendapatkan pasokan energi. Hal ini semakin
diperparah dengan kebijakan energi pemerintahan SBY-Budiono, yang justru
mengutamakan ekspor gas dan batubara ke luar negeri sebelum kebutuhan
domestik terpenuhi.
Ada pula program Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation (REDD), yang oleh penganjurnya dimaksudkan untuk mencegah
kerusakan hutan lebih lanjut di seluruh dunia, justru menjadi kesempatan
baru bagi imperialis untuk menguasai hutan kita dan menghidupi bisnis
karbonnya.
Penghancuran ekonomi Rakyat
Sampai tahun 2010 jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
diperkirakan mencapai 51 juta unit atau 99% dari total unit usaha yang
ada. Namun, sejak ekonomi nasional berayun ke arah liberalisasi, UMKM
telah menjadi korban paling pertama yang bertumbangan.
UMKM ini sangat bergantung pada dua hal, yaitu jaminan kredit dan
pasar. Jauh sebelumnya, UMKM sudah menderita akibat kenaikan harga BBM
dan TDL. Pada tahun 2010, bersamaan dengan diberlakukannya
China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), sektor UMKM Indonesia seperti digiring ke liang pembantaian.
Misalnya Industri batik, yang sekarang ini juga banyak dibuat oleh
China, telah mengancam masa depan industri batik di dalam negeri.
Namun, cerita sedih mengenai penghancuran ekonomi rakyat belum
berhenti di sini, tetapi terus berlanjut dengan keputusan pemerintah
membiarkan peritel modern memasuki kampung-kampung dan pelosok-pelosok.
Sebagai perbandingan mengenai hal ini, dalam Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia, ekonomi nasional atau rakyat (UMKM) yang berjumlah 51
juta atau 99% dari total pelaku ekonomi hanya menikmati 39,8% dari PDB,
sementara korporasi besar asing menikmati hingga 60,2%. Dalam hal pasar,
ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar
nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.
Pasar rakyat, yang selama ini menjadi tempat bagi ekonomi mikro dan
menengah memasarkan produknya, semakin terancam oleh ekspansi peritel
raksasa modern, seperti Carrefour, Giant, Hypermart, 7-eleven, Circle
K, Lotte Mart, dan lain-lain. Peritel modern didukung oleh modal yang
lebih besar, fasilitas, tekonologi, dan ruang yang strategis, sementara
pasar rakyat identik dengan kumuh, semrawut, dan bau kurang sedap.
Jika pasar rakyat hancur, maka hal itu akan membawa konsekuensi luas,
yaitu, pertama, menghancurkan produsen kecil, khususnya produk petani
dan usaha kecil (mikro dan menengah), dan kedua, menyulitkan konsumen
klas menengah ke bawah.
Penguasaan asing terhadap perbankan
Sejak UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan di berlakukan,
sebagian besar perbankan nasional sudah jatuh ke tangan asing, yaitu
antara 65%-70%. UU perbankan ini, yang memperbolehkan kepemilikan asing
terhadap bank lokal hingga 99%, adalah salah satu UU perbankan paling
liberal di dunia.
Sebut saja, misalnya, Bank haga, Rabobank dan Hagakita (seluruh
sahamnya dikuasai Rabobank Belanda, BTPN (71% sahamnya dikuasai Texas
Paicific AS), Bank Permata (44,5% dikuasai Standard Chartered Inggris),
SCB (seluruh sahamnya dikuasai Standard Chartered Inggris), Bank Panin
(35% sahamnya dikuasai ANZ Bank Australia), BII (55,85% sahamnya
dikuasai Maybank Malaysia), CIMB Niaga (60,38% sahamnya dikuasia CIMB
group Malaysia), dan lain-lain.
Penguasaan asing terhadap perbankan nasional akan berdampak serius
terhadap perekonomian nasional, yakni mempengaruhi aliran modal dan
penyaluran kredit terhadap industri nasional.
Pada tahun 2010 ini, sebagaimana dibangga-banggakan pemerintah dan
ekonom neoliberal, bahwa perbankan indonesia telah kebanjiran arus dana
asing yang masuk (capital inflow), yang keberadaannya sangat bebas untuk
masuk dan keluar kapan saja. Hal ini membuat cadangan devisa melonjak
menjadi USD 92,75 miliar per akhir November 2010 yang bisa mencapai
USD100 miliar pada akhir 2010.
Namun, tidak dapat dibantah bahwa pihak asing sudah mengusai lebih
dari 60% kepemilikan di pasar modal, dan hal itu sangat berbahaya bagi
kesehatan ekonomi Indonesia di masa depan.
Alih-alih bahwa dana itu bisa memperkuat sektor real kita, arus dana
asing itu malah berpotensi menjerumuskan perekonomian kita. Karena BI
menganut sistem
capital free flow, maka investor asing dapat dengan bebas mengambil keuntungan di Indonesia kapan saja.
Penumpukan utang luar negeri
Hanya lima tahun memerintah, berdasarkan catatan Buku Statistik Utang
Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), SBY berhasil menambah
utang luar negeri Indonesia Rp300 triliun. Hingga bulan April 2010,
total utang luar negeri Indonesia sudah menghampiri Rp2000 trilyun, atau
setara dengan dua kali APBN kita.
Terakhir, bulan desember ini, SBY kembali menambah utang melalui ADB
sebesar 200 juta US Dollar, dan katanya, ini akan dipergunakan untuk
mendanai reformasi ekonomi di Indonesia.
Meski terjadi peningkatan utang yang sangat signifikan, tetapi
pemerintah berusaha mengelak dengan menyatakan bahwa rasio utang
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah menurun, yaitu dari 89 persen
menjadi 32 persen.
Ada dua hal yang perlu dibantah terkait pernyataan pemerintah di
atas: Pertama, Utang luar negeri tidak bisa dibandingkan dengan PDB.
Sebab, PDB tidak mencerminkan produksi Indonesia, tetapi juga ada porsi
asing yang besar di dalamnya. Peningkatan PDB bukan karena naiknya
produktifitas nasional, melainkan karena aktivitas perusahaan atau
bisnis pihak asing. Kedua, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun,
namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Ada
peningkatan stock utang sekitar 30% dalam lima tahun ini.
Persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, tahun
2010 juga merupakan ‘tahun penderitaan”. Meskipun tahun-tahun sebelumnya
TKI Indonesia memang sudah sangat menderita, tetapi pada tahun ini
kasus kekerasan terhadap TKI telah mengundang kemarahan rakyat terhadap
pemerintah.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya kita mendengar kasus Nirmala Bonat
dan Siti Hajar, maka tahun ini kita mendengar nasib yang lebih tragis
dari dua TKW Indonesia, yaitu Sumiati dan Kikim Komalasari.
Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu RI), pihaknya
mempunyai catatan mengenai 4.532 laporan kasus terkait tenaga kerja
Indonesia (TKI) selama 2010, yang sebagian besar adalah pelanggaran
kontrak, beban kerja, jam kerja, pembayaran gaji, serta pelecehan
seksual.
sementara Kepala Litbang Kemenkum HAM, Prof Dr Ramly Hutabarat SH,
menyampaikan kepada peserta diskusi “Hubungan Bilateral Indonesia –
Malaysia”, yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UNS, bahwa
sepanjang tahun 2010 saja, terjadi 3.835 kasus penganiayaan dan 2.500
kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan TKW.
Persoalan buruh migran, sebagaimana diterangkan dengan jelas sekali
oleh Lenin, adalah juga persoalan imperialisme. Negara-negara imperialis
telah memobilisasi pekerja-pekerja dari dunia ketiga untuk dipekerjakan
pada sektor pekerjaan ber-upah rendah di negeri kapitalis maju,
sekaligus untuk mengistimewakan pekerja tertentu di negeri imperialis.
Sementara itu, akibat dari praktek neoliberalisme dalam sepuluh tahun
terakhir, sebagian besar rakyat kita, di desa dan di kota, telah
kehilangan pekerjaan. Akhirnya, sebagian besar diantara mereka telah
direkrut dan dikirim sebagai pekerja migran. Pendek kata, neoliberalisme
punya andil besar dalam mengeksploitasi pekerja migran.
Kesimpulan: Sifat kolonialisme semakin mendominasi dalam perekonomian Indonesia
Kenyataan ekonomi pada tahun 2010 ini semakin mempertegas, bahwa
sebagian besar ekonomi Indonesia telah dikuasai oleh kaum kapitalis
besar asing, terutama kapitalis besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang.
Penguasaan itu meliputi bagian terbesar dari perusahaan industri,
perdagangan, dan keuangan: bank-bank, pabrik-pabrik, tambang2,
pengangkutan, perkebunan, dsb.
Dengan dikuasainya perbankan dan pasar modal (lebih dari 60%), maka
pihak asing sudah mengontrol sebagian besar kapital di dalam negeri.
Dan, dengan begitu pula, maka sebagian besar keuntungan dari aktivitas
ekonomi di dalam negeri telah diangkut ke negeri-negeri imperialis.
Kecuali perusahaan-perusahaan kecil, seperti industri rokok, batik,
tekstil, dan kerajinan tangan, hampir semua perusahaan yang besar
pengaruhnya terhadap perekonomian nasional telah dipegang oleh pihak
asing; a) perusahaan berteknik modern (elektronik, otomotif, dll),
pabrik-pabrik besar (tekstil, garmen, makanan dan minuman, bijih besi,
baja, logam, dll), perusahaan-perusahaan pertambangan (migas, batubara,
emas, timah, dll). b) perusahaan alat-alat perhubungan dan
telekomunikasi, seperti penerbangan, perusahaan telekomunikasi, stasiun
penyiaran, dll. c) perusahaan bank dan asuransi.
Corak kolonial juga terlihat dalam penerimaan kas negara, yang
sebagian besarnya didapatkan dari pajak, baik langsung maupun tidak
langsung. Bahkan, hampir seluruh aktivitas ekonomis rakyat telah
dikenakan pajak.
Orang-orang melarat dan para penganggur, meskipun berusaha
disembunyikan dengan memanipulasi angka statistik, tetapi terlihat jelas
berkeliaran di kota-kota besar untuk mencari makan dan pekerjaan.
Mereka tidur di trotoar, di kolong-kolong jembatan, emperan toko, dan
gerobak-gerobak. Di Jakarta, ada yang disebut dengan “manusia gerobak”,
yaitu orang miskin yang sudah tak punya rumah dan keluarganya tinggal di
gerobak yang dibawanya kemana-mana.
Tidak salah kemudian jika ada yang menyebut bahwa tahun 2010 sebagai
tahun “menuju kebangkrutan”. Meskipun akhirnya banyak perusahaan
nasional yang tumbang, tetapi situasi itu telah melahirkan sentimen
nasionalisme dan anti-penjajahan yang semakin kuat.