Pada tahun 2000 lalu, mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era tahun 1960-an, Soebandrio, menerbitkan memoar berjudul Kesaksianku Tentang G30S.
Buku memoar tersebut adalah bentuk pembelaan Subandrio terhadap
tudingan sepihak yang dialamatkan kepada dirinya: terlibat G30S.
Tudingan itu sungguh pahit. Tidak hanya karena Subandrio harus mendekam
di penjara selama 30 tahun, tetapi juga harus memikul aib sebagai
penghianat bangsa.
Namun, melalui memoarnya tersebut, Subandrio melancarkan serangan
balik ke Soeharto. Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta
merangkak terhadap kekuasaan Soekarno. Tak hanya itu, buku setebal 80
halaman itu juga membeberkan cacat Soeharto.
Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh
sebelum peristiwa G30S. Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro,
Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong.
Keduanya menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Saat itu, kata Soebandrio, Soeharto berdalih bahwa bisnis
penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. “Berita
penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya,”
ujar Soebandrio.
Belakangan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan
Kodam Diponegoro, melainkan untuk kepentingan pribadi Soeharto dan Liem.
“Duitnya masuk ke kantong Soeharto dan Liem,” kata Soebandrio.
Kabar itu berhembus kemana-mana. Kata Soebandrio, ketika berita itu
mencuat, Jenderal Ahmad Yani sangat marah. Sampai-sampai, dalam suatu
kejadian, Yani menempeleng Soeharto. Soeharto dianggap mempermalukan
korps Angkatan Darat (AD).
Tak hanya itu, Jenderal AH Nasution mengusulkan agar Soeharto diadili
di Mahkamah Militer dan dipecat dari AD. Namun, usulan itu dimentahkan
oleh Mayjend Gatot Subroto. Alasannya, Soeharto masih bisa dibina.
Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.
Cerita tentang Soeharto sebagai penyelundup ini bukan barang baru. Harold Crouch dalam The Army and Politics In Indonesia
juga menyinggung hal tersebut. Menurut Crouch, Soeharto dicopot tahun
1959 karena keterlibatannya dalam penyelelundupan. Robert E Elson, yang
menulis buku Suharto, A Political Biography (2001), juga menyinggung bisnis ilegal Soeharto tersebut.
Yang Kedua, Soeharto membangun klik di dalam tubuh Angkatan Darah (AD) saat itu. Soebandrio menyebutnya Trio Soeharto-Yoga-Ali.
Awalnya, pada tahun 1959, Soeharto tiba-tiba memanggil pulang Yoga
Soegama, yang saat itu masih menjabat sebagai Dubes Indonesia di
Yugoslavia. Saat itu, Soeharto memanggilan Yoga untuk diberi jabatan
baru: Kepala Intelijen Kostrad.
Bagi Soebandrio, pemanggilan Yoga oleh Soeharto itu bermasalah.
Pertama, pemanggilan Yoga itu diluar aturan formal alias menabrak
aturan. Semestinya, kata Soebandrio, yang punya otoritas memanggil Yoga
itu adalah Ahmad Yani selalu Menteri/Panglima AD (Menpangad). Kedua,
tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah untuk mensabotase politik
Bung Karno. Ketiga, untuk menghancurkan PKI.
Menurut Soebandrio, komplotan trio Soeharto-Yoga-Ali ini sudah
berlangsung erat semasa di Kodam Diponegoro. Bahkan, Soeharto pernah
menggunakan komplotannya ini untuk mensabotase rencana pengangkatan
Kolonel Bambang Supeno sebagai Panglima Kodam Diponegoro.
Saat itu, pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno sebagai
Pangdam Diponegoro. Kabar itu tercium oleh Soeharto, yang saat itu masih
berpangkat Letkol tetapi ‘ngebet’ sekali jadi Pangdam. Untuk meraih
cita-citanya, Soeharto menggelar rapat gelap dengan sejumlah perwira di
Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Yoga Soegama, yang notabene
komplotan Soeharto.
Ketiga, Soebandrio juga menyingkap keterlibatan Soeharto dalam
percobaan kudeta yang dirancang Tan Malaka untuk menggulingkan Kabinet
Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946. Awalnya, kata Soebandrio, kelompok Tan
Malaka mengajak semua kalangan militer di Jawa Tengah, termasuk
Soeharto, dalam gerakan tersebut.
Pada tanggal 20 Juni 1946 (?), Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh
kelompok Soedarsono. “Soeharto selaku salah seorang komandan militer
Surakarta terlibat dalam penculikan itu,” ujar Soebandrio.
Tanggal 2 Juli 1946, dua batalyon pasukan penculik berkumpul di
markas Soeharto. Pasukan itu kemudian dikerahkan untuk menguasai aset
strategis, seperti RRI dan Telkom. “Malam itu juga mereka menyusun surat
pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya
ditandatangani oleh Presiden Soekarno esok harinya,” ungkap Soebandrio.
Tetapi percobaan kudeta itu gagal. Para pelakunya ditangkap dan
ditahan. Pada saat itulah Soeharto berbalik arah, dari awalnya
berkomplot dengan penculik kemudian menangkapi para penculik.
Namun, cerita tentang kelicikan Soeharto dalam peristiwa percobaan
kudeta tanggal 3 Juli 1946 itu bukan cerita baru. M Yuanda Zara dalam
bukunya Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia juga mengungkap kelicikan Soeharto itu.
Menurut Yuanda, Soeharto sebetulnya terlibat dalam pembebasan tahanan
pro-kudeta di penjara Wirogunan. Ia kemudian membawa tanahan itu ke
markasnya, di Wiyoro, di mana Soedarsono sudah menunggunya.
Di malam itu juga, kata Yuanda, Mohammad Yamin Cs membuat konsep
maklumat kepada Presiden Soekarno, yang isinya seolah-olah penyerahan
kekausaan kepada Tan Malaka. Pembuatan konsep maklumat itu dilakukan di
markas Soeharto.
Rencananya, maklumat itu akan dibawa oleh Soedarsono esok paginya, 3
Juli 1946, ke Presiden Soekarno. Dengan liciknya, Soeharto membocorkan
info ini ke pihak Istana dan sekaligus memberitahu rencana Soedarsono ke
Istana. Alhasil, pada tanggal 3 Juli 1946, ketika Soedarsono ke Istana
Presiden, ia dengan gampang dilucuti oleh pasukan pengawal Presiden.
Padahal, sebelumnya Bung Karno pernah memerintahkan Soeharto melalui
pesan yang dibawa oleh Sundjojo, Ketua Pemuda Pathuk, untuk menangkap
atasannya, Mayor Jenderal Sudarsono, karena dicurigai ingin merebut
kekuasaan. Tetapi Soeharto menolak perintah Presiden Soekarno tersebut.
Sampai-sampai Soekarno marah dan menyebut Soekarno sebagai “Opsir
koppig” (opsir yang keras kepala).
Kejadian ini memperlihatkan kepada kita, betapa lihainya Soeharto
dalam membaca situasi, mengambil keuntungan di dalamnya, dan secara
licik tampil sebagai pahlawan. Yuanda menyebut ini strategi nglurug tanpa bala, menyerbu tanpa pasukan, tetapi memakai tangan orang lain untuk kepentingannya.
Pembaca boleh tidak setuju dengan pendapat Soebandrio ataupun ulasan
saya di atas. Namun, seiring dengan dibukanya dokumen dan arsip mengenai
peristiwa G30S 1965, ada baiknya membaca kembali peristiwa tersebut
secara kritis. Termasuk mempertanyakan kembali keabsahan Soeharto
sebagai pahlawan dibalik cerita tersebut.
Sigit Budiarto, kontributor Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar